Poundsterling melemah tipis sekitar 0.1 persen ke kisaran 1.2884 terhadap Dolar AS pada pertengahan sesi Eropa pada Rabu (13/Februari), namun belum keluar dari bayang-bayang candle harian sebelumnya. Koreksi pada pasangan mata uang GBP/USD terjadi setelah data inflasi Inggris dilaporkan menurun di bawah target bank sentral pada bulan Januari. Meski demikian, Sterling masih unggul versus Yen dan cenderung stabil terhadap Euro, dikarenakan tingginya minat risiko pasar hari itu dan kecilnya proyeksi imbas data inflasi tersebut.
UK Office for National Statistics (ONS) melaporkan bahwa Consumer Price Index (CPI) jatuh ke level 1.8% (year-on-year) pada bulan Januari. Angka tersebut lebih rendah dari 2.1% yang dicapai pada periode sebelumnya, sekaligus meleset dari ekspektasi. Hal tersebut merupakan pertama kalinya laju inflasi Inggris jatuh ke bawah target 2% yang dipatok oleh bank sentral, dalam dua tahun terakhir.
Data Producer Price Index (PPI) tak kalah loyo. PPI Input merosot dari 3.2% menjadi 2.9% (year-on-year), sementara PPI Output lengser dari 2.4% menjadi 2.1% dalam kurun waktu yang sama.
Penurunan laju inflasi disebabkan oleh jatuhnya harga minyak mentah pada akhir tahun lalu yang berdampak pada harga BBM lebih murah di dalam negeri. Sejalan dengan itu, para ekonom memprediksi kalau data inflasi Inggris tidak akan merosot lebih jauh dan laporan kali ini tidak mempengaruhi arah kebijakan bank sentral Inggris.
"Berbaliknya inflasi ke bawah target 2 persen untuk pertama kalinya dalam dua tahun adalah berita baik bagi rumah tangga, tetapi kejatuhan lebih lanjut tak mungkin terjadi," ujar Samuel Tombs, pimpinan ekonom Inggris di Pantheon Macroeconomics.
Senada dengannya, Andrew Wishart dari Capital Economics mengungkapkan, "Menurut kami, tekanan gaji lebih tinggi pada akhirnya akan tampak pada data inflasi. Hasilnya, kami tetap memperkirakan Bank of England akan melanjutkan (rencana) kenaikan suku bunga apabila kesepakatan Brexit tercapai, meski inflasi hari ini tergelincir ke bawah target bank sentral."